Saturday, August 31, 2013

Kencingnya sebuah karya seni



Kencingnya  “Tanda Putera” sebagai karya seni dan “Pengkhianatan Gerakan 30 September/PKI (1984)” sebagai bukti sejarah versi politik.


1.0 

Dalam buku John Rossa, “ dalih pembunuhan massal – GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO”, Institut Sejarah Sosial Indonesia. Jakarta: 2008:10-112,  kita temui sesuatu tentang filem sebagai alat propogandanya Sang Penguasa:

“Semalam sebelumnya semua stasiun televisi diwajibkan menyiarkan film buatan pemerintah,   Pengkhianatan Gerakan 30 September/PKI (1984).  Film  sepanjang empat jam yang melelahkan ini bercerita mengenai penculikan dan pembunuhan tujuh perwira Angkatan Darat di Jakarta, dan menjadi tontonan wajib setiap tahun bagi anak-anak sekolah.  Film ini dimulai dengan sorotan berpanjangan terhadap monumen itu, diiringi pukulan ratapan genderang yang murung.  Lubang Buaya ditanamkan dalam kesadaran publik sebagai tempat PKI melakukan kejahatan bera.”

Lihatlah bagaimana sebuah regime menceritakan versinya kerana “bagi rezim Suharto, kejadian 1 Oktober 1965 menyingkap kebenaran tentang PKI yang khianat  dan antinasional.  Ia mendiskreditkan prinsip yang digalakkan Sukarno, yaitu Nasakom – akronim yang menyatakan azas tritunggal nasionalisme, agama dan komunisme  - yang memberikan keabsahan bagi PKI sebagai komponen dasariah dalam perpolitikan Indonesia.”


2.0

Sementara itu dalam artikel bertajuk “45 Years of 30th September Movement : Watching That Film Again” (sila rujuk  http://montasemagz.com/article/article-magz/45-years-of-30th-september-movement-watching-that-film-again.html), kita temui rekod seperti berikut:

“Pengkhianatan G30S was an official version which the most popular in society. Certainly, it was because when it was released at 1983, every students were obligated to watch this film. 699,282 people watched this film at 1984. From 1984 to 1998 every 30th September this film had been rolled in television. It stopped when the ministry of Information was Yunus Yosfiah”.

Pada bahagian artikel ini juga, kita temui petikan tentang isi perut Sang Penguasa ketika itu:

“Tempo Magazine on 7th April 1984 edition said, Soeharto already watched it on January 1984. His comment that time was “…. there are still many untold stories…. therefore, there will be a sequel of it..” (fortunately, there was not). In the same magazine, the persecution at Lubang Buaya was considered “less sadistic”.

 
3.0

Zohor tadi (Jumaat, 30 Ogos 2013), dari mimbar surau Jumaatku dilaung-laungnya lagi sebuah khutbah Jumaat.  Kali ini hari ini khutbahnya memperkatakan tentang kemerdekaan dan segala basa basi betapa pentingnya sebuah kemerdekaan itu dihargai (agaknya sang penulis skrip terlupa tentang pengisiannya atau apakah mungkin tidak ada lagi yang dapat ditulis tentang pengisian sebuah kemerdekaan itu?!).  Dan di celah-celah dengkuran sebahagian besar makmun, aku tertunggu-tunggu kalau-kalau ada sepatah ayat tempik, “Celakalah! Ya, celakalah kalian segala perasuah yang telah merompak kemerdekaan buat rakyat!”  Ayat itu tak juga muncul.

Apa pun ada juga yang positif tentang khutbah nikmat kemerdekaan yang ditojoh ke kerongkong para Jumaatan, nama-nama Tok Janggut dan Dr Burhanudin Al-Helmi juga disebut khatib.  Meminjam kata teman-temankuku di Jogja dulu, “Mendingan masih kebagian!”




No comments: