Friday, April 2, 2010

Garam, bawang dan 1Malaysia



Garam, bawang dan 1 Malaysia.

“Garam dalam peri(bahasa)


Kisah butiran garam tak berhenti di situ saja. Garam pun masuk dalam peribahasa kita. Sewaktu duduk di sekolah dasar dalam pelajaran bahasa Indonesia, saya mendapat tugas mencari peribahasa, ungkapan yang berhubungan dengan garam. Ternyata banyak sekali ungkapan, peribahasa dalam bahasa Indonesia yang berhubungan dengan garam, yang dalam istilah kimianya dikenal dengan nama Natrium Chlorida (NaCl).

Peribahasa-peribahasa itu antara lain; ‘Banyak makan asam garam’ yang artinya banyak pengalaman hidup, ‘Hidup sebagai asam dengan garam’ yang berarti sudah sesuai benar (lelaki dan perempuan) dan pasti menjadi jodoh, ‘Membuang garam ke laut’ yang artinya melakukan pekerjaan yang tidak ada gunanya, ‘Bagai garam jatuh ke air’ yang berarti nasihat atau saran yang mudah diterima, ‘Sudah seasam segaramnya’ yang artinya sudah baik benar (tidak ada celanya), ‘Garam di laut, asam di gunung bertemu di belanga’ yang berarti lelaki dan perempuan kalau jodoh biarpun terpisah oleh samudera bertemu juga akhirnya, ‘Kelihatan garam kelatnya’ yang berarti kelihatan sifat-sifatnya yang kurang baik. Masih banyak lagi peribahasa dalam bahasa Indonesia yang berhubungan dengan garam (Kamus Besar Bahasa Indonesia 1993:255).

Hal yang menarik dalam bahasa Indonesia atau Melayu, kata ‘garam’ terpisahkan dengan rasa ‘asin. Berbeda dengan bahasa-bahasa lain misalnya Inggris ‘salt’ dengan ‘salty’, Perancis ‘sel’, Spanyol ‘sal’ dengan ‘salado’, Italia ‘sale’, Jerman ‘zalt’, Belanda ‘zout’ selain berarti garam juga mengacu pada rasa ‘asin’.

Pada masa Romawi Kuno, harga garam sangat mahal. Oleh karena mahalnya garam pada masa itu lalu dipakai untuk membayar gaji para pekerja dan prajurit dengan salarium (garam). Istilah salarium (Latin) yang maksudnya ‘garam’ itu dipakai untuk gaji yang kemudian diambil dalam bahasa Inggris salary. Lucunya garam dalam bahasa Inggris kuno adalah ‘sealt’. Bila kita hilangkan dua huruf terakhir –lt, kita akan dapatkan kata ‘sea’ yang artinya laut. Mungkin juga maksudnya begitu karena air laut rasanya asin dan garam berasal dari laut.

Garam pengusir roh jahat


Seperti yang tadi disebutkan sebelumnya ada berbagai garam yang kita kenal. Garam dapur yang butirannya lebih halus, garam bata yaitu garam yang berbentuk bata serta garam kasar. Biasanya garam dapur ditambahi unsur iodium yang diperlukan tubuh kita. Karena bila kekurangan zat tersebut dapat mengakibatkan penyakit gondok. Tak heran jika pemerintah mencanangkan suatu program “Garam beryodium” yang dipromosikan dengan gencar. Tapi bagi mereka yang mengidap penyakit darah tinggi, mereka justru diminta mengurangi konsumsi garam. Kalau tidak tekanan darah bisa melonjak.

Garam juga turut berperan dalam industri. Penangkapan ikan misalnya menggunakan garam yang dibubuhi pada es batu supaya es tersebut lebih tahan lama. Begitupula pembuatan ikan asin (ikan kering) yang memanfaatkan garam.

Dalam sebuah buku catatan perjalanan seorang turis Belanda, Augusta de Wit disebutkan manfaat garam yang mampu mengusir rasa pedas sambal yang menyengat. Ia menceritakan pengalamannya ketika pertama kali mencicipi sambal:

“Saya tak mampu melukiskan apa yang terjadi. Saya hanya dapat mengatakan bahwa saya sangat menderita sekali. Bibirku gemetar karena pedasnya sambal, leher terasa terbakar dan semakin parah ketika harus meneguk segelas air” (Wit 1905: 20). Untunglah ada seorang pengunjung yang kasihan dan menyarankan agar ia menaruh sedikit garam di lidah. Ia pun menuruti nasihat itu dan tak lama kemudian siksaan itu berakhir. Sambil terengah-engah, ia bersyukur ia masih hidup. Ia pun bersumpah tidak mau mencoba rijsttafel lagi. Namun, ternyata ia melanggar sumpahnya tersebut (Wit 1905: 20).

Tidak hanya itu, menurut kepercayaan, garam dianggap dapat mengusir roh jahat, tamu yang tidak dikehendaki hingga ular. Caranya dengan menaburkan garam (garam krosok, garam butirannya lebih kasar dibanding garam meja) di sudut-sudut dalam rumah dan di halaman rumah. Ternyata itu tidak hanya berlaku di Nusantara. Di Amerika yang konon masyarakatnya lebih rasional juga percaya hal seperti ini. Contoh menarik untuk hal ini, bisa kita saksikan serial televisi Supernatural, kisah petualangan dua bersaudara Dean dan Sam Winchester yang memburu roh jahat yang membunuh ibu mereka. Selain bersenjata api (yang telah disucikan), mereka juga melengkapi dirinya dengan garam. Percaya atau tidak, saya sendiri pun pernah mencobanya dan dengan izin Allah terbukti berhasil. Wallahu alam

Di luar Jawa, seperti Sulawesi Selatan, tambak-tambak garam dapat kita temui di sepanjang pantai di jalan menuju Tanjung Bira. Tepatnya di daerah Jeneponto yang memang kadar curah hujannya sangat kurang. Garam menjadi komoditas utama daerah tersebut. Tetapi tetap saja daerah itu dikategorikan daerah minus karena harga garam yang begitu rendah. Seperti cerita seorang dokter di Makassar yang suatu ketika bertugas di daerah itu. Usai bertugas, ia mendapatkan oleh-oleh kurang lebih lima karung plastik berukuran berat 60 kg. Awalnya, ia mengira karung-karung itu berisi, beras atau jagung. Dengan senang hati diterimanya oleh-oleh itu dan dimasukkan ke dalam mobilnya. Sesampainya di Makassar, ia berniat ingin membagi oleh-oleh itu pada para tetangganya. Dibukanya karung-karung itu, ternyata karung-karung itu berisi garam yang masih kasar. Pengalaman dirinya mengingatkan pada masa Romawi ketika para pekerja dan prajurit diberi upah dengan garam (salarum).

Garam pun dianggap membawa keberuntungan. Meski tidak secara langsung karena yang diambil adalah ‘gudangnya’ yang kemudian diabadikan menjadi sebuah merek. Di Indonesia, para pecandu rokok (khususnya kretek) tentu akan ingat merek ini: Gudang Garam. Gudang garam merupakan salah satu pabrik rokok terbesar di Indonesia. Didirikan oleh Tjoa Ing Hwie (Surya Wonowidjojo) yang sebelumnya bekerja untuk pamannya di pabrik rokok Cap 93, salah satu pabrik rokok terkenal di Jawa Timur. Pada tahun 1956, ia meninggalkan Cap 93 dan memproduksi sendiri kretek dari klobot di bawah nama merek Inghwie. Dua tahun kemudian ia mengganti perusahaannya menjadi Pabrik Rokok Tjap Gudang Garam. Terbukti merek ini menjadikan perusahaan ini salah satu perusahaan rokok terbesar (www.gudanggaramtbk.com)

Anda ingat Roger Moore, pemeran James Bond, agen 007? Pada 2001 ia pernah datang ke Indonesia khusus sebagai duta khusus PBB untuk Unicef. Di Indonesia “Mr. Bond” ini mempromosikan garam beriodium.

Garam dan politik


Garam juga tak seremeh yang kita bayangkan. Peranannya merambah ke dunia politik yang bisa membuat sejarah. Di India, pada 12 Maret 1930, Mahatma Gandhi memimpin sebuah gerakan perlawanan rakyat sipil. Tujuannya adalah memprotes monopoli garam yang diberlakukan pemerintah Inggris di India. Aturan monopoli garam yang ditetapkan Inggris berisi larangan bagi rakyat India untuk mengumpulkan atau menjual garam. Inggris bahkan memaksa rakyat India membeli garam dari Inggris yang telah dikenai bea pajak yang tinggi. Mahatma Gandhi melihat garam sebagai kebutuhan penting bagi bangsa India maka ia memimpin gerakan satyagraha atau perlawanan rakyat sipil tersebut.

Gandhi dan 78 pengikutnya melakukan pawai ke kota Dandi yang terletak di pantai Laut Arab, berjarak 241 mil. Di sepanjang jalan, puluhan ribu rakyat India bergabung dalam pawai itu. Ketika rombongan itu tiba di kota Dandi, mereka memulai gerakan penyulingan garam dari laut. Gerakan ini segera meluas ke seluruh India, termasuk Bombay dan Karachi. Tentara Inggris pun tak tinggal diam, mereka turun tangan menghadapi perlawanan rakyat sipil India dan menahan 60.000 orang, termasuk Gandhi. Namun, gerakan satyagraha itu terus berlangsung hingga kelak Gandhi dibebaskan dan bersedia menghentikan gerakan itu dengan kompensasi akan diselenggarakan konferensi untuk menentukan masa depan India (www.irib.com/world service).

Di Indonesia dikenal istilah ‘politik garam’. Politik garam ini merupakan ajaran Muhammad Hatta (mantan Wakil Presiden RI pertama), Muhammad Natsir dan para tokoh pendiri Indonesia lainnya. Ajaran itu antara lain bahwa politik garam itu lebih sejuk. Dirasakan gurihnya, dirasakan asinnya, tapi tidak menimbulkan gejolak. Menurut Amien Rais itu semacam high politics (politik tingkat tinggi) dan bukan ‘politik gincu’ yang hanya mampu dilakukan oleh mereka yang ahli dan berpengalaman di bidang ini (Koran Tempo, 27 Juni 2004)

Pada masa pemerintah Hindia Belanda terdapat de Opium en Zout regi(ment) (Jawatan Candu dan Garam Negara) yang mengatur produksi dan penjualan garam di Hindia Belanda. Seperti yang dituturkan Soebadio Sastrosatomo, tokoh PSI (Partai Sosialis Indonesia) yang pada usia sepuluh tahun pada 1929 ditinggal ayahnya seorang pegawai Jawatan Garam dan Candu Negara di Sumatra Timur.”



No comments: