Pabila cermin berduka
Berikut sebuah kisah kuno tentang cermin dan penyair yang kerap sekali berkarya tentang manusia dan kemanusiaan sejagat.
Cermin: Kaukah itu, wahai penyair?
Penyair: Ya, memang benar ― akulah lelaki yang diiring itu, digiring untuk bersajak perihal Satu sosok Satu Penguasa yang maha perkasa.
Cermin: Malam ini, aku tergamam...
Penyair: Apakah menjadi dosa besar jika diksi bait-baitku itu kujadikan isytihar; citra maha hebatnya gagasan-wawasan ulung, satu daya ― gagahnya berupaya menggegar buana?
Cermin: Apakah kau tidak tersasar?
Penyair: Ya, yang kujunjung di atas batu jemalaku malam ini adalah Satu mahkota bijaksana maha sempurna.
(Sebagai pengimbas jasad telanjang, cermin kian terkejut lalu bertanya lagi)
Cermin: Apakah kau lupa musibah demokrasi musim pemilihan lalu, tatkala Sang Penguasa itu merampas kuasa halal, pilihan rakyat? Ya, apakah kau lupa pada segala citra sajak-syairmu yang begitu nyaring bersurah tentang manusia, kemanusiaan, Penguasa zalim dan kezaliman?
Aneh sekali tatkala buih-buih deklamasimu itu berterbangan, rostrum dan seluruh alam menangis semahu-mahunya.
Percayalah surah kepenyairanmu memuja-memuji Sang Penguasa zalim pada malam 18 Disember 2011 amat meruntun jiwaku. Mulai saat ini, aku tidak sudi lagi perlihatkan tampangmu!
Kata yang empunya cerita, sejak itu segala cermin, ajaib dan juga yang tidak ajaib pada mogok semuanya. Mulai saat itu penyair tidak lagi berupaya. Batinnya tekun membias citra.
No comments:
Post a Comment