Monday, November 15, 2010

Mantra Pejinak Ular: Kuntowijoyo

Kesenian berbeda dengan kekuasaan


“Kesenian itu berbeda dengan kekuasaan. Kesenian membujuk, kekuasaan memaksa. Kesenian berbicara dengan lambang, kekuasaan thok-lek.  Kesenian itu sinamun ing samudana, tersamar, tidak langsung. Semua ada tempatnya. Orang Jawa itu tanggap, Pak. Jangan blak-blakan, jangan menggurui, jangan dikatakan semuanya.”

“Ya, kalau orang mengerti, kalau tidak bagaimana?”

“Kalau tidak, ya diulang-ulang sampai orang mengerti.  Kesadaran itu datang dari dalam, tidak bisa dipaksa dari luar.  Perkara orang tidak mau sadar juga, itu sudah di luar urusan kita.  Camat mengira wayang itu tidak akan efektif.  Tetapi, di luar dugaan semua orang, bibit-bibit jati di kecamatan habis dalam beberapa hari. Ibaratnya, “larang diserang, murah dirayah” (mahal dibeli, murah dija-rah). Kecamatan terpaksa menghubungi pihak Perhutani untuk mendapatkan bibit-bibit baru.

“Sudah menanam pohon jati?” orang akan bertanya pada tetangga.

“Belum!”

“Wah, kau ketinggalan zaman! Tidak berpikir masa depan.”


Kuntowijoyo, Mantra Pejinak Ular (Kompas, Jakarta, 2000) halaman 83.


Sementara itu dalam “salam pembuka”nya yang berjudul “Kuntowijoyo, Sejarah, dan Mitos” Kenedi Nurhan merekod detik bersejarah itu:

Dalam setting budaya Jawa berikut warna warni Islam yang selalu mewarnai karya-karyanya Kuntowijoyo, tokoh Abu Kasan Sapari(1) tumbuh dalam proses dialektika dengan zaman “Bumi Gonjang-ganjing, Langit Megap-megap”.  Pada kurun waktu menjelang milenium ketiga, saat tanda-tanda zaman menampakkan isyarat akan berakhirnya kejayaan sebuah orde yang kemaruk, ketika hujan salah musim dan angin ribut membawa pertanda buruk, Abu Kasan Sapari berkesempatan tampil sebagai saksi sejarah.

“Pagi hari, hujan dan angin reda.  Orang-orang keluar ke terminal. Beringin itu tumbang! Pohon yang selama ini tegak menghadapi musim hujan dan angin itu terbujur, akar-akarnya mencuat di atas tanah....”

_______________________________________________________
(1) Siapakah Abu Kasan Sapari yang bakal ‘menyaksi hujan salah musim’ negara kita?  Siapakah dalam kalangan novelis kita yang bakal menceritakan pengalaman Abu Kasan Saparinya Malaysia itu?  

Beringin: Untuk sesetengah pembaca di Malaysia, beringin adalah dacingnya Suharto. 




No comments: