Monday, September 5, 2011

Puisi dan slogan


Puisi untuk yang tewas?


Dalam eseinya bertajuk, “Seribu Slogan Dan Sebuah Puisi” Goenawan Mohamad memulakan tulisan dengan mengutip kebijaksanaan berikut:

Maka sebuah sloganpun menjadi sajak perkasa karena kenyataan hidup yang dicerminkannya.

Feng Chih, dari Shih-nien Shih Ch’ao, Peking, 1959

Di akhir esei itu, dia menulis:

“Seribu slogan dan satu puisi: manakah yang lebih perlu? Kedua-duanya.  Tapi apabila kita sadari bahwa yang jadi tujuan bukanlah sekedar kebersamaan yang hanya dipergunakan untuk kekuasaan, maka puisi akan lebih berarti.  Karena puisi memungkinkan percakapan yang bebas, ia memustahilkan kekompakan yang munafik. Seorang tiran atau seorang Hitler setiap hari bisa saja membuat seribu slogan, tapi ia tidak akan sanggup membuat sajak yang sejati.”


Goenawan Mohamad, Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang, (kumpulan esei) Pustaka Jaya, Jakarta, 1972.


2.

Maka apabila Tuan Ibrahim Tuan Man berkata bahawa “yang menang menulis sejarah yang kalah menulis puisi,” kita pun sedikit tergamam.

Apakah itu darjat sebenar sebuah puisi?

Kita tidak percaya pemikiran seseorang penyair besar itu datanganya dari kumpulan yang tewas.  Setidak-tidaknya idea, gagasan, pemikiran sang penyair besar kekal walaupun slogan politik telah lama tewas.

Lihatlah apa yang telah terjadi kepada, “Bersih, Cekap dan Amanah”  dan bandingkannya  dengan  suatu ungkapan Dr Burhanuddin yang cukup tersohor itu:

“Di atas robohan Kota Melaka
Kita dirikan jiwa merdeka.”



No comments: