Wednesday, January 20, 2010
Bertemu teman dan bakal penggiat Paksi di Jerteh
Dalam perjalanan pulang dari persembahan teater “Menunggu Kata Dari Tuhan”, MKDT di USM, Kubang Kerian pada 14 Januari 2010 lalu, kami (Dinsman dan saya) singgah sebentar di Jerteh untuk menemui peminat Dinsman dan Paksi. Maka selepas solat Jumaat kami pun dibawa ke rumah Sdr Mohd Noor di Jerteh.
Teman-teman lain yang ikut serta ialah Sdr Wan Ali, Sdr Suhaimi dan Sdr Uganu.
Dalam pertemuan singkat itu, kami dapat merasakan harapan tinggi para pendidik ini terhadap kegiatan sastera-budaya dalam lingkungan masyarakat yang sakit dirempuh hiburan keterlaluan. Sebagai pendidik terlatih dan dekat pula dengan roh dan manfaat sastera-budaya, mereka juga mengharapkan agar kehidupan kita yang langka ini dapat diisi secara positif. Dan salah satu juzuk pengisian itu adalah kegiatan sastera-budaya yang diredhai.
Sesungguhnya pertemuan yang singkat ini sangat bermakna. Harapan kita semuga pertemuan penuh makna ini, akan disusuli pula dengan kegiatan bersama di Jerteh. Membaca puisi atau mengupas isu yang dekat dengan kita, sudah cukup baik. Ya, sebagai permulaan.
Sebelum berundur, untuk renungan bersama mari kita lihat apa kata M. Yoesoef dalam bukunya “ Sastra Dan Kekuasaan: Pembicaraan atas drama-drama karya W.S. Rendra” (Wedatama Widya Sastra, 2007):
Sebagai institusi sosial, sastra menyajikan kehidupan dan terdiri atas ― sebagian besar ― kenyataan-kenyataan sosial yang sangat berpengaruh pada kehidupan. Oleh kerana itu, sastra mempunyai fungsi sosial sebagai suatu reaksi, tanggapan, kritik, atau gambaran mengenai situasi tertentu. Melihat fungsi sastra yang demikian itu, Hegel dan Taine memandang sastrawan, melalui karya sastranya, berupaya menyampaikan kebenaran yang sekaligus juga kebenaran sejarah dan sosial. Karya sastra dalam pandangan mereka merupakan dokumen sosial yang monumental. Dengan demikian, karya sastra yang artistik dan bersifat monumental tidak lain dari gambaran tentang suatu zaman tertentu.”
Apakah para sasterwan kita mampu melahirkan ‘dokumen sosial yang monumental’? Atau apakah kita, sasterawan sama seperti kebanyakan para profesional lain di negara ini telah bertukar menjadi alat@pecacai para penguasa yang terlanjur?
Usah bimbang, anak cucu kita bakal melihat itu semua, percayalah.
Labels:
gerak budaya
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment